Pengadilan terhadap anggota penyidik KPK, Ajun Komisaris Polisi (AKP) Suparman, sudah digelar. Persidangan ini tentu membuat publik terenyak. Ternyata tak semua penyidik KPK itu bersih. Namun, bagi KPK, menyidangkan anggotanya sendiri merupakan prestasi hebat. Setidaknya KPK sukses mengontrol perilaku sebagian penyidiknya yang masih terbiasa bekerja dengan tangan " kotor".Sayang, KPK tak gampang membersihkan ruangan kotor instansi penegak hukum lain. Mereka masih begitu bergantung pada laporan masyarakat. Nah, untuk menggali serba-serbi kinerja lembaga yang makin bertambah umur ini, wartawan KONTAN Sigit Rahardjo dan Thomas Hadiwinata mewawancarai tumpak Hatorangan Panggabean, Wakil Ketua KPK bidang Penindakan. Berikut nukilannya. :
KONTAN: Apakah kasus AKP Suparman menunjukkan adanya kontrol yang lemah di KPK?
TUMPAK: Itu bukti bahwa kami ini tidak menoleransi apa pun tindak pidana korupsi. Baik orang dalam sendiri. Ini hal yang menyakitkan. Justru kasus ini membuktikan bahwa kontrol kami begitu baik, sehingga bisa membuktikan adanya peristiwa seperti itu. Kalau ada penyidik seperti Suparman, dia harus ditangkap dan diadili. Sebenarnya kita bisa saja minta mengembalikan uang itu, tapi kalau itu kita lakukan orang pasti menganggap kita sama saja dengan yang lain.
KONTAN: Dari mana KPK tahu ada penyidik yang memeras?
TUMPAK: Itu tidak bisa saya sampaikan, ya. Karena perkaranya sedang bergulir di pengadilan. Kita tahu karena satu informasi yang masuk ke kita, terus kita turunkan orang-orang di sana. Bukan teman-teman Suparman. Orang lain. Ternyata informasi itu benar, baru kita tangkap orang itu. Semua pada kaget
KONTAN: Ada perlindungan terhadap pelapor?
TUMPAK: Kita lihat kasusnya. Dia memberikan informasi mengenai apa. Agak sulit bagi kita kalau dia melapor setelah menyuap penyidik. Itu berarti uang telah diberikan. Tapi kalau belum diberikan, baru dinego, kita akan melakukan sesuatu. Kalau dia memberi atas kehendak dia juga, supaya hukuman dia diringankan, supaya dia tidak ditahan, walaupun dia mengadu ke KPK, saya pikir orang seperti ini tidak perlu dilindungi. Jadi lihat modusnya.
KONTAN: Jangan-jangan ini cerminan kelemahan dalam rekrutmen penyidik?
TUMPAK: Sesuai dengan UU, KPK memiliki penyidik dan penuntut umum yang berasal dari kepolisian dan kejaksaan yang diberhentikan sementara dari instansi asalnya. Kemudian lahirlah PP Nomor 63/2005, bahwa struktur pegawai di KPK ini ada yang namanya pegawai tetap, ada namanya pegawai tidak tetap, dan ada pegawai yang dipekerjakan. Ya, semacam diperbantukan, untuk periode empat tahun dan bisa diulangi satu periode lagi. Itu berdasarkan pertimbangan kita kalau memang kita masih memerlukan. Gajinya pun sesuai standar KPK.
KONTAN: Prakteknya, satu kasus ditangani berapa penyidik?
TUMPAK: Kita di sini membuat satuan tugas. Satgas penyelidik, satgas penyidik, dan satgas penuntutan. Untuk penyidikan itu ada 10 satgas dengan anggota 4 sampai 5 orang. Jadi, saya punya personel di sini dari kepolisian ada 45, dari kejaksaan ada 19, dan ada dari BPKP 16 orang. Totalnya 81 orang, tapi sudah berkurang satu orang. Mungkin mereka akan berkurang lagi, karena mereka bekerja dalam satu satgas. Kita masih meneliti anggota satgas ini, adakah yang terlibat lagi atau hanya Suparman sendiri. Masing-masing satgas ini dipimpin seorang direktur. Tapi untuk satgas penuntutan, direkturnya masih kosong. Demikian juga untuk deputi, sampai sekarang masih kosong. Deputi inilah yang mengepalai seluruh pekerjaan penindakan yang ada di sini.
KONTAN: Bagaimana dengan fungsi pengawasan KPK di institusi hukum yang lain, seperti di kepolisian, kejaksaan, atau di pengadilan? Sepertinya masih mandul.
TUMPAK: Sebetulnya, KPK punya fungsi lebih dari itu. Melakukan penyelidikan kalau memang ada informasi-informasi yang berhubungan dengan pejabat-pejabat hukum itu. Memang UU memberikan kewenangan kepada KPK untuk melakukan supervisi. Supervisi ini pengawasan terhadap teknis hukum. Umpamanya ada yang melakukan penyidikan lamban, bertele-tele, maka kita melakukan pengawasan teknisnya, kenapa sampai itu terjadi. Tapi, kalau di dalam proses itu ada perbuatan suap, saya pikir bukan pengawasan lagi yang bermain, kita sidik dia. Kita tangkap dia.
KONTAN: Soal rekening 15 perwira Polri, itu dilaporkan PPATK lebih setahun silam, tapi hingga kini tidak ada gerakan yang berarti?
TUMPAK: Kalau Anda tanya ini, saya sendiri juga tidak terlalu jelas. Saya juga sama dengan Anda, cuma baca dari koran. Yang saya tahu, kasus itu ditangani Mabes Polri. Tapi begini, seandainya Polri atau Kejaksaan menyidik suatu perkara korupsi, dia harus memberitahukan kepada KPK. Saya lihat dari data-data yang namanya Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) kasus rekening polisi ini belum pernah dilaporkan.
KONTAN: Artinya, Polri memang belum pernah melakukan penyidikan atas kasus rekening ini?
TUMPAK: Saya kira begitu. Tapi, mungkin saja penyelidikan sudah mereka lakukan. Kalau baru penyelidikan, mereka memang tidak perlu lapor ke KPK. Seandainya sudah ada SPDP-nya, maka sudah ada pintu masuk secara UU bagi KPK untuk menyupervisi kasus itu. Seperti kasus PLN, BNI, dan banyak lagi. Tapi, seandainya ada data-data yang konkret mengenai rekening itu sendiri, dan data itu dilengkapi dengan alat bukti yang cukup, kami bisa melakukan penyidikan sendiri.
KONTAN: Mengapa tidak minta bukti awal ke PPATK?
TUMPAK: PPATK itu memberikan kepada polisi dalam kejahatan money laundering. Kalau kita minta, PPATK pun tidak akan mau memberikan kepada kita karena dilarang oleh UU. Dia hanya memberikan kepada penyidik yang sedang menyidik perkara money laundering.
KONTAN: Bukankah rekening itu bisa dianggap sebagai gratifikasi yang kemudian dikumpulkan dalam satu rekening?
TUMPAK: Itu saya bilang tadi. Andai saja ada data dan alat bukti yang cukup seperti yang diberikan kepada Polri. Soal gratifikasi itu harus ada pembuktian siapa yang memberikan gratifikasi atau suap itu. Kita tidak bisa langsung mengambil alih. Paling yang bisa kita lakukan di sini, kita koordinasikanlah, ya. Bertanya, apa iya Anda sedang menyidik kasus ini? Kalau sudah menyidik, kirim dong SPDP-nya. Paling dia akan ngomong ini masih kita dalami, masih dalam penyelidikan. Seperti Suyitno Landung (komisaris jenderal polisi yang menjadi tersangka kasus suap dalam pemeriksaan korupsi BNI), Polri kirim SPDP ke KPK, termasuk Ismoko. Saya belum melihat SPDP selain itu.
KONTAN: Lo, bukankah sudah ada kesaksian di persidangan bahwa ada sejumlah dana yang diserahkan kepada Da'i Bachtiar, Kepala Polri waktu itu?
TUMPAK: Saya sendiri belum jelas. Walaupun itu keterangan di bawah sumpah, tentunya harus didukung dengan alat bukti yang lain. Tidak bisa berdiri sendiri. Tentunya itu sudah bagian dari kepolisian untuk melakukan penelaahan keterangan yang disampaikan itu. Kembali lagi tentunya kita tidak masuk dulu, dong, sebelum SPDP-nya masuk.
KONTAN: Bagaimana hubungan KPK dengan Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor)? Lingkup tugasnya kan hampir sama.
TUMPAK: Timtas Tipikor ini bukan lembaga yang berdiri sendiri. Cuma antara kejaksaan dan kepolisian membentuk suatu tim, disinergikan untuk koordinasi. Sebenarnya tidak perlu membentuk Timtas Tipikor, KUHAP memang begitu. Tapi sejak KUHAP lahir, tidak pernah terjadi koordinasi yang baik antara polisi dan jaksa, sehingga presiden turun membentuk Timtas Tipikor itu.
KONTAN: Pengalaman Anda sebagai jaksa dulu juga seperti ini keadaannya?
TUMPAK: Seperti itu, karena perbedaan kepentingan. Kepentingan itu begini, jaksa itu selalu ngomong bahwa yang pintar menyidik itu jaksa. Pengalaman zaman Belanda, polisi itu dulunya pembantu jaksa. Jadi semua penyidikan polisi itu selalu konotasinya tidak sempurna. Mungkin juga si polisi juga begitu. Selalu berpikir mudahnya saja. Tidak mau berpikir soal hukum pembuktian. Petunjuk jaksa itu mengada-ada yang sulit dibuktikan. Padahal itu perlu. Seperti kasus Neloe (bekas Direktur Utama Bank Mandiri), di pengadilan dia bebas. Kalau saya bilang, pra-penuntutannya keliru.
KONTAN: Salahnya di mana?
TUMPAK: Kalau ini salahnya kejaksaan, ya, dalam melakukan penyidikan. Karena perkara ini bergulir sampai di kasasi, sebaiknya saya tidak usah bicara itu. Tapi, kepada kejaksaan sudah saya kasih tahu. Salahnya itu dalam konstruksi dakwaannya itu. Sudah saya sampaikan ke kejaksaan, katakanlah seperti BNI itu, yang disidik polisi, sukses di pengadilan. Kenapa yang disidik jaksa, seperti kasus Neloe gagal?
KONTAN: Ini otokritik juga, ya?
TUMPAK: Kita harus evaluasi kenapa. Jangan-jangan, ini menurut saya, karena ini berkas dari polisi, kirim ke kejaksaan. Oleh kejaksaan diteliti secara baik. Dipulangkan. Akhirnya berkas-berkas ini betul-betul matang. Sukses. Sekarang kalau disidik oleh jaksa, dan dia sendiri yang menelitinya, dan si penyidik juga yang menjadi penuntut umumnya, pasti dia merasa bahwa yang sudah dia buat itu benar, kan? Tidak ada second opinion. Jangan-jangan begitu. Tolong orang kejaksaan evaluasi pendapat saya. Kalau di KPK tidak. Si penyidiknya polisi. Penuntut umumnya jaksa. Cuma jaksanya punya kewajiban sejak menyidik, jaksa sudah masuk. Jadi, jaksa tahu dengan segera bila ada kekurangan dalam penyidikan. Kebetulan sarana kita juga mendukung. Ada elektronik di sini. Jadi penyidik mem-BAP di sana. Penuntut umum bisa baca langsung.
KONTAN: Apa yang bisa dilakukan KPK terhadap kasus BLBI?
TUMPAK: Zaman dulu, ada yang di-SP3-kan oleh Kejaksaan Agung. Memang ada kendala yuridis. KPK ini menangani kasus-kasus korupsi berdasarkan UU No. 31/1999. Itu pegangan. Nah, kasus-kasus zaman dulu umumnya terjadi sebelum tahun 1999. Yaitu UU No. 3/1971. Kasus BLBI, kasus Soeharto. Kami tetap berpegang pada ketentuan UU. Orang bilang KPK luar biasa. Superbody. Kalau aku bilang biasa-biasa saja. Mana ada yang luar biasa? Tak ada. Coba lihat, apa sih luar biasa?
KONTAN: Kan sekarang, KPK sudah ditakuti. Di daerah sekarang pejabatnya sudah takut jadi pimpro karena nanti berurusan dengan KPK.
TUMPAK: Karena kami hantam semua. Polisi pun kalau mau hantam semua, kelar republik ini. Betul tidak? Bikin, dong, seperti yang kami bikin. Mereka juga bisa. Lebih mampu semestinya. Bedanya cuma di dalam Pasal 12. Ada satu kewenangan di kami yang orang katakan luar biasa. KPK boleh menyadap, merekam, pembicaraan orang. Itu luar biasa. Aku pikir kalau ini saja apalah luar biasanya itu?
KONTAN: Kalau proses pelaporan kekayaan bagaimana? Masih jalan?
TUMPAK: Jalan. Kan itu
kewajiban setiap penyelenggara negara untuk melaporkan harta kekayaannya ke KPK. Dulu KPKPN. Pejabat harus melapor setelah berhenti dalam tempo 50 hari, sesuai ketentuan UU dia harus melaporkan kekayaannya. Sekarang sudah kami sampaikan kepada pemerintah untuk mencanangkan satu aturan. Aturan ini yang paling ngeri. Namanya statuta declaration. Itu lebih dari laporan harta kekayaan.Ceritanya begini, semua penyelenggara negara harus men-declare harta kekayaannya ke KPK. Declare apa saja yang dia punya. Nanti kalau ada harta atas nama dia yang tidak masuk dalam statuta declaration, itu akan dirampas untuk negara. Ini memang baru usulan. Bentuk yang kita minta peraturan presiden.
KONTAN: Bagaimana kalau harta itu didaftarkan atas nama anaknya?
TUMPAK: Enggak apa-apa. Kan bisa ditelusuri. Cuma memang kita tidak menganut pembalikan beban pembuktian. UU tidak memberikan ketentuan seperti itu. Seharusnya diikuti lagi dengan pembalikan beban pembuktian; yang orang bilang pembuktian terbalik. Istilah salah. Biasanya, menurut aturan umum, yang membuktikan itu kewajiban jaksa. Sekarang kita balik, itu bukan jaksa, pada yang bersangkutan. Seandainya kewenangan itu ada, itu lebih menggigit lagi. Artinya, seseorang tidak bisa membuktikan bahwa harta itu dia peroleh dari pencariannya yang sah, berarti dia korupsi. Kita belum ada ketentuan seperti itu. Harta itu bisa disita.
Amplop Perkawinan Diangkut ke KPK
Minggu lalu tumpak Hatorangan Panggabean mengawinkan anaknya. Seperti lazimnya perhelatan perkawinan, dia pun banyak menerima angpao. Cuma, sampai kini dia tak tahu benar nilai sumbangan yang dia terima. Bukan karena belum dihitung, melainkan sumbangan itu langsung diangkut ke KPK.Sebagai pejabat sekaligus pegawai negeri, dia tak boleh menerima pemberian apa pun alias gratifikasi. "Saya suruh panitia membawa kotak-kotak itu KPK untuk diserahkan ke pejabat di bidang gratifikasi," ujar Tumpak. Tak ayal, sang anak pun kecewa. Mungkin itu pula perasaan besannya. Baru tahu mereka repotnya berfamili dengan pejabat
KPK.
Dikutip dari KONTAN No. 38, Tahun X, 26 Juni 2006
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar